Jumlah kendaraan di Indonesia saat ini sangat besar, hingga 21 juta mobil dan 115 juta motor, dan tren ini akan secara konsisten bertambah seiring dengan jumlah pertumbuhan ekonomi penduduk Indonesia
Jakarta (ANTARA) - Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Rachmat Kaimuddin menyebut akselerasi adopsi kendaraan listrik merupakan solusi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan menghemat subsidi BBM yang membebani APBN.
"Indonesia saat ini adalah negara net importer minyak dan juga melakukan subsidi energi, khususnya subsidi BBM. Peningkatan kebutuhan BBM berbanding lurus dengan kebutuhan biaya subsidi. Dimana sebenarnya subsidi ini dapat dialokasikan untuk pembangunan Indonesia," katanya dalam keterangan di Jakarta, Rabu.
Menurut Rachmat, akselerasi penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) atau Electric Vehicle (EV) sangat dibutuhkan. Pertumbuhan jumlah kendaraan yang diproyeksi terus tumbuh pesat akan menghambat komitmen Indonesia mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebagaimana target NDC sebesar 31,89 persen dengan kemampuan sendiri dan 43,20 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Demikian pula target Net Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat.
"Jumlah kendaraan di Indonesia saat ini sangat besar, hingga 21 juta mobil dan 115 juta motor, dan tren ini akan secara konsisten bertambah seiring dengan jumlah pertumbuhan ekonomi penduduk Indonesia," ujarnya.
Baca juga: Kementerian PUPR: Penggunaan kendaraan listrik atasi pencemaran udara
Ada pun hingga Desember 2022 pengguna KBLBB masih relatif lebih rendah dibanding kendaraan yang menggunakan Internal Combustion Engine (ICE). Per Desember 2022, penjualan motor listrik mencapai 15 ribu unit, sementara mobil listrik sebesar 8 ribu unit. Angka ini masih jauh dibanding total penjualan kendaraan ICE hingga 6,5 juta unit motor dan 1 juta unit mobil sebagaimana data AISI dan GAIKINDO pada 2019.
Perbandingan penjualan kendaraan listrik dengan total populasi kendaraan bahkan lebih kecil lagi yaitu 0,01 persen untuk motor dan 0,04 persen untuk mobil.
Lebih lanjut Rachmat menuturkan sebagai industri yang belum matang, pemerintah masih harus mengatasi beberapa tantangan industri di Indonesia, seperti terbatasnya produsen KBLBB di Indonesia, ekosistem KBLBB yang masih perlu dilengkapi agar bersaing dengan ekosistem kendaraan BBM, hingga perbedaan harga yang cukup signifikan antara KBLBB dan kendaraan ICE.
Merujuk pada pengalaman negara-negara lain, seperti Thailand, India, dan China, dalam mengatasi tantangan industri kendaraan listrik, fasilitasi insentif kepada pengguna menjadi salah satu solusi kebijakan yang teruji.
Baca juga: Kebijakan Pemerintah berperan besar dalam adopsi kendaraan listrik
"Insentif ini berperan penting dalam mengurangi selisih harga kendaraan ICE dan kendaraan listrik yang ramah lingkungan, sehingga kendala perbedaan harga menjadi tidak signifikan," katanya.
Selain itu fasilitasi insentif kepada industri otomotif juga menjadi opsi kebijakan yang dapat diaplikasikan untuk mendorong produksi KBLBB.
Pemerintah sendiri sebelumnya telah memberikan beberapa insentif kepada pengguna KBLBB di antaranya PPnBM 0 persen bagi KBLBB Completely Knock Down (CKD) yang memenuhi syarat TKDN, pembebasan aturan ganjil genap bagi pengguna KBLBB, tarif pajak daerah (PKB dan BBNKB) yang lebih rendah dibanding untuk kendaraan ICE, hingga kemudahan DP 0 persen untuk KBLBB.
Baca juga: Luhut: Pemerintah sedang bahas subsidi untuk kendaraan listrik
Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2022